MAKALAH
ETNOBOTANI TANAMAN SANDANG
Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah etnobotani
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh :
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAIN DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2016
Puji
syukur penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik,
hidayah serta inayah-Nya, sehingga semua pembaca masih bisa beraktifitas
sebagaimana mestinya, begitupun dengan penyususun makalah ini. Sehingga dapat
tersusun makalah dengan judul “Etnobotani Tanaman Sandang ”.
Makalah
ini berisi tentang penjelasan deskripsi etnobotani tanaman sandang, spesies-spesies
yang serat kayunya digunakan sebgai bahan sandang dan juga cara pengolahan
serat kayu sebagai bahan sandang.
Terimakasih
penyususn ucapkan kepada rekan seperjuangan yang telah membantu, baik langsung
berupa perbuatan dan juga tak langsung berupa doa untuk penyusunan makalah ini,
sehingga dapat terselesaikan tepat waktu. Paling utama terimakasih penyusun
ucapkan kepada dosen mata kuliah etnobotani, xxxxxxxxxx yang telah
membimbing penyusun sehingga makalah ini dapat tersususn denga insyaallah baik
dan benar.
Harapan
penyusun, dengan tersusunnya makalah “etnobotani tanaman sandang” dapat
memberikan manfaat, serta memperluas pengetahuan tentang pembahasan tersebut tersebut untuk pembaca
dan penyusunnya. Kemudian, penyusun kembali pada fitrah manusia yang tak pernah
lepas dari salah dan dosa juga jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu pula
penyusun meminta maaf bila terdapat kekurangan dalam makalah ini. Tak lupa
untuk memperbaiki kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini penyususn juga
meminta kritik dan saran atas makalah ini.
Malang, 17 April 2016
Penyusun
HALAMAN
JUDUL...............................................................................................
i
Manusia menggunakan tetumbuhan untuk
pemenuhan kehidupan sehari-harinya, baik secara langsung maupun tidak langsung
telah lama mendapat perhatian dalam botani – ekonomi. Sehubungan dengan
perannya, tetumbuhan telah dibedakan atas beberapa kelompok seperti sebagai
sumber bahan pangan, bangunan, sandang, ritual, peralatan rumah tangga, kayu
bakar, permainan anak-anak, dan pewarna (Power, 1874).
Lebuh dari 50 jenis diantara 290
jenis tumbuhan penghasil serat digunakan sebagai bahan sandang oleh berbagai
suku bangsa di Indonesia (Heyne, 1987). Sedangkan menurut
buku PROSEA No. 17 (2003) diketahui terdapat 72 jenis tumbuhan penghasil serat
utama, 128 jenis penghasil serat sekunder dan 619 jenis lainnya namun peranan
utamanya adalah sebagai sumber bahan pangan, obat, bangunan, hias dan
sebagainya. Selama ini serat alam telah dimanfaatkan sebagai bahan tekstil,
tali telali, kerajinan, kertas dan sebagainya.Namun, pemanfaatannya masih belum
mencapai taraf komersialisasi. Pengetahuan tradisional masyarakat lokaldan
kekayaan keanekaragaman hayati merupakan salah satu modal dasar bagi
berkembangnya beragam budaya suku bangsa di Indonesia.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan
sumberdaya hayati, hal ini karenamenurut pernyataan (Melalatoa, 1995), Indonesia merupakan salah satu
negara tropis yang memiliki lebih dari lima ratus entri atau lema. Entri atau
lema dikategorikan sebagai suku bangsa, sub suku bangsa, komunitas masyarakat
yang mendiami pulau kecil, atau masyarakat yang memiliki ciri khas spesifik
yaitu kebudayaan, pengetahuan dan kearifan lokal tersendiri, antara lain dalam
memanfaatkan tetumbuhan sebagai bahan sandang.
Saat ini dengan semakin derasnya kemajuan
teknologi dan tranportasi yang telah memasuki ke pelosok-pelosok terpencil,
dikhawatirkan kebudayaan, pengetahuan dan kearifan lokal tersebut tererosi
bahkan hilang. Menurut (Waluyo, 1991), proses modernisasi ternyata
dengan mudah menggeser sejumlah pengetahuan atau kebudayaan asli suku bangsa
diluar Pulau Jawa. Oleh karena itu diharapkan data etnobotani ini menjadi
dokumentasi tentang pemanfaatan serat kulit kayu dari beberapa jenis tumbuhan
yang digunakan sebagai bahan sandang oleh beberapa suku bangsa di Indonesia,
sehingga prospek pengembangannya sebagai salah satu bahan baku kerajinan khas
daerah yang saat ini banyak diminati oleh wisatawan mancanegara, mendorong
kreativitas masyarakat lokal untuk meningkatkan ekonomi kesejahteraannya dan
pelestariaannya dapat ditindak lanjuti. Oleh karena itu makalah ini membahas tentang etnobotani tanaman sandang.
Rumusan masalah dari makalah Etnobotani Tanaman
Sandang ini adalah:
1.
Apa yang dimaksud etnobotani tanaman sandang?
2.
Apasajakah spesies yang dapat dimanfaatkan sebagai
baan sandang?
3.
Bagaiman cara pemanfaatan tanaman sandang sebagai
bahan sandang?
Tujuan dari makalah ini adalah:
1.
Untuk mengetahui pengertian etnobotani tanaman
sandang.
2.
Untuk mengetahui spesies-spesies yang dimanfaatkan
sebagai bahan sandang.
3.
Untu mengetahui cara pemanfaatan tanaman sandang.
Pengelolaan keanekaragaman hayati di
Indonesia mengalami peningkatan selama kurun waktu 35 tahun ini, bukan hanya
sebagai pemenuhan kebutuhan dasar yang terbatas pada pangan, sandang dan
perumahan, tetapi juga pada kebutuhan lain seperti ilmu pengetahun, rekreasi
dan sebagainya. Hal tersebut mendorong masyarakat melakukan banyak upaya
untuk memanfaatkan dan melestarikan keanekaragaman hayati. Upaya tersebut mulai
dari inventarisasi, pemanfaatan, budidaya sampai dengan pelestariannya yang
melibatkan berbagai disiplin ilmu, diantaranya Taksonomi, Etnobotani dan
Bioteknologi (hidup, 2000)
Etnobotani
merupakan ilmu botani mengenai pemanfaatan tumbuhan dalam keperluan sehari-hari
dan adat suku bangsa. Studi etnobotani tidak hanya mengenai data botani
taksonomis saja, tetapi juga menyangkut pengetahuan botani yang bersifat
kedaerahan, berupa tinjauan interpretasi dan asosiasi yang mempelajari hubungan
timbal balik antara manusia dengan tanaman, serta menyangkut pemanfaatan
tanaman tersebut lebih diutamakan untuk kepentingan budaya dan kelestarian
sumberdaya alam (Darmono, 2007).
Menurut (martin, 1995) Etnobotani merupakan
suatu bidang ilmu yang mempelajari hubungan timbal-balik secara menyeluruh
antara masyarakat lokal dan alam lingkungannya meliputi sistem pengetahuan
tentang sumberdaya alam tumbuhan. Etnobotani merujuk pada kajian interaksi
antara manusia, dengan tumbuhan. Kajian ini merupakan bentuk deskriptif dari
pendokumentasian pengetahuan botani tradisional yang dimiliki masyarakat
setempat yang meliputi kajian botani, kajian etnofarmakologi, kajian
etnoantropologi, kajian etnoekonomi, kajian etnolinguistik dan kajian
etnoekologi.
(Tamim & arbain, 1995), menyatakan istilah
etnobotani dikemukakan pertama kalinya oleh Dr. J. W. Harshberger pada tahun
1985 dan didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang pemanfaatan
tumbuhan secara tradisional oleh suku bangsa yang masih primitif. Secara
Terminologi, etnobotani adalah studi yang mempelajari tentang hubungan antara
tumbuhan dan manusia. Dua bagian besar dari etnobotani ini adalah terbagi dalam
dua kata yaitu “etno” dan studi tentang manusia, “botani”, studi tentang
tumbuhan. Jadi etnobotani adalah studi yang menganalisis hasil dari manipulasi
materil tanaman asli dengan konteks budaya dalam penggunaan tanaman atau
dinyatakan bahwa etnobotani melihat dan mengetahui bagaimana masyarakat
memandang dunia tumbuhan, atau memasukkan tumbuhan ke dalam budaya dan agama
mereka.
Masyarakat
yang dimaksudkan adalah penduduk asli yaitu orang-orang yang mengikuti tradisi
atau kehidupan non industrial pada suatu daerah dan kemudian diturunkan pada
generasinya. Menurut (martin, 1995) etnobotani adalah bagian dari etnoekologi
yang memprioritaskan tumbuhan dalam bidang kajiannya. Ilmu etnobotani yang
berkisar pada pemanfaatan tumbuh-tumbuhan untuk kemaslahatan orang di
sekitarnya, pada aplikasinya mampu meningkatkan daya hidup manusia. Studi
lanjutan dapat berfokus pada penggunaan spesifik (pangan/makanan, ekonomi,
banyak manfaat, pakan ternak, buah-buahan, obat-obatan, kayu bakar, dll). Atau
bisa juga dengan mencoba mengumpulkan sejumlah informasi dilain musim. Atau
memilih tumbuhan spesifik, contohnya cara perkembangbiakan beberapa jenis
tumbuhan liar untuk dibudidayakan. Ada berbagai hasil dari studi etnobotani
yang dilakukan. Diskusi bersama masyarakat tentang tanaman lokal bisa
memunculkan kembali nilai-nilai lama yang pernah didapatkan dari
tanaman-tanaman tersebut, selanjutnya bisa disampaikan gagasan-gagasan lain tentang manfaat tanaman tertentu
berdasarkan kearifan lokal (Tamim & arbain, 1995)
Studi ini merupakan ilmu yang kompleks dan
dalam pelaksanaannya memerlukan pendekatan yang terpadu dari beberapa disiplin
ilmu antara lain Taksonomi, Ekologi, Geografi Tumbuhan, Pertanian, Sejarah dan
Antropologi, Linguistik, Kimia Bahan Alam, Pharmakognosi, Ekologi Tumbuhan,
Antropologi dan Ekonomi.
Pada
mulanya penelitian etnobotani dilakukan berawal dari keinginan untuk
melestarikan warisan budaya tentang pengetahuan masyarakat pada dunia tumbuhan
dan ingin mengetahui interaksi manusia yang hidup di sekitar hutan terhadap
hutan sekitarnya. Namun ternyata penelitian ini sangat berguna untuk :
1.
Usaha melestarikan hutan.
2.
Peningkatan pendapatan
masyarakat dengan membudidayakan tanaman bernilai ekonomi di luar kawasan
konservasi.
3.
Pembuatan daerah buffer zone (daerah penyangga) di
kawasan konservasi sehingga penduduk diharapkan tidak mengambil hasil hutan
baik kayu dan non kayu.
4.
Pengambilan lahan
terdegradasi karena usaha perdagangan dan usaha penduduk di sekitar hutan.
5.
Pengumpulan data masyarakat
dan budayanya terhadap tumbuhan yang dipergunakan secara tradisional maupun
intoduksi.
6.
Pelestarian aneka budaya
masyarakat.
7.
Pengembangan obat
tradisional.
8.
Pencarian obat-obatan baru
untuk penyakit modren seperti kanker, HIVAIDS (Human Immunodeficiency
Virus/Acquired Immuno Deficiency Syndrome), malaria, TBC (Tuberculosis).
9.
Usaha mengembangkan
tumbuhan berguna dan berpotensi ekonomi.
10.
Usaha mencari induk
silangan untuk pengembangan pertanian.
Kemudian sandang sendiri mempunyai makna pakaian
yang diperlukan oleh manusia sebagai makhluk berbudaya, pada awalnya manusia
memanfaatkan pakaian dari kulit kayu yang tersedua di alam. Kemudian manusia
memanfaatkan teknologi pemintalan kapas menjadi benang untuk ditenun menjadi
bahan pakaian. Pakaian berfungsi sebagai pelindung dari panas dan dingin. Lama kelamaan
fungsi pakaian berubah, yakni untuk memberi kenyamanan sesuai dengan
jenis-jenis kebutuhan seperti pakaian kerja, pakaian rumah, untuk tidur, dan
sebagainya. Keanekaragaman hayati dan sumberdaya sandang berarti segala potensi
lingkungan yang dapat memenuhi kebutuhan sandang bagi manusia.
Pada awalnya, manusia memanfaatkan kulit pepohonan
dan kulit hewan sebagai pakaian, kemudian memanfaatkan benang yang dipintal
dari kapas, bulu domba serta sutera yang kemudian dijadikan kain sebagai baha
dasar pakaian. Hingga sampai saat ini perkembangan pembuatan bahan pakaian
menjadi bermacam, macam. Diantaranya kain katun, bulu binatang, kulit samak,
linen, nilon, polyester, rayon, sutera, spandeks, wol, dan sebagainya.
Jadi, etnobotani tanaman sandang merupakan pemanfaatan
tanaman atau tumbuhan oleh suku bangsa yang masih tradisional pengolehannya
untuk digunakan sebagai bahan sandang pada masa dahulu dan sekarang ini.
Sehinga dapat digunakan sebagai pelindung diri pada masanya.
Tercatat sembilan jenis tumbuhan penghasil
serat kulit kayu yang digunakan sebagai bahan sandang oleh beberapa etnis di
Indonesia seperti etnis Kubu atau Anak Dalam (Sumatera); etnis Dayak Bahau dan
Dayak Iban (Kalimantan); etnis Kaili, Kulawi, Lore, Toraja (Sulawesi), etnis
Manusela (Maluku) dan etnis Togutil atau Tobelo Dalam (Maluku Utara). Delapan
jenis diantaranya termasuk suku
Moraceae (yaitu Antiaris toxicaria Lesch., Artocarpus elasticus Reinw. ex
Blume, A. integer (Thunb.) Merr., Broussonetia papyrifera (L.) L’Her. ex Vent.,
Ficus minahassae (Teijsm. & de Vriesse) Miq., F. pungens Reinw. ex Blume,
F. variegata Reinw. ex Blume dan Streblus elongatus (Miq.) Corner) dan satu
jenis termasuk suku Urticaceae Boehmeria nivea (L.) Gaudich. Jenis-jenis ini
umumnya dijumpai di hutan primer dan sekunder sampai pada ketinggian 1.500 m
dpl, kecuali A. elasticus sampai diketinggian 3.500 m dpl. Variasi morfologi B.
nivea cukup tinggi, dan beberapa kultivar jenis ini telah dibudidayakan di
Indonesia; sedangkan jenis-jenis lainnya berasal dari hidupan liar. Kegunaan
lain dari jenis-jenis tumbuhan penghasil serat kulit kayu untuk bahan sandang
antara lain sebagai bahan obat tradisional, bahan bangunan, penghasil buah dan
sayuran, pewarna.
Untuk membuat pakaian atau sandang dari
serat kulit kayu diperlukan pengetahuan dan pengalaman dalam mengenal
jenis-jenis pohon yang memiliki serat kulit kayu yang kuat, panjang dan
afinitasnya besar terhadap air sehingga terasa dingin jika digunakan pada hari
panas. Berdasarkan penelusuran beberapa pustaka diketahui terdapat 9 jenis
pohon serat kulit kayu yang digunakan oleh beberapa suku bangsa di Indonesia (Kartiwa, 1985). Adapun jenis-jenis tumbuhan serat kulit kayu
tersebut sebagai berikut:
1.
Antiaris toxicaria
Lesch. Merupakan anggota suku
Moraceae. Dengan nama
lokal: ipoh, upas, tengis, tingeh (Melayu); tatai (Lampung); nyaman tacem
(Dayak); ancar, karag (Jawa); balung, pancar (Madura); impo, ipo (Sulawesi);
gado (Maluku). Tanaman ini tersebar di daerah yang meliputi Afrika
Barat sampai dengan Madagaskar, Sri Lanka, India, Indo – China, China bagian
selatan, Thailand, Malesia, kepulauan Pasifik dan Australia bagian utaraJenis
ini merupakan jenis tunggal (monotypic species) dari marga Antiaris. Habitat dari tanaman ini tersebar di
hutan-hutan primer dan sekunder dataran rendah sampai pada ketinggian 1.500 m
dpl. Kadang-kadang ditemukan juga di padang savana atau di perbukitan tepi
pantai. Kegunaan lain dari tanaman
ini adalah Getah mengandung senyawa “antiarin” dan digunakan sebagai
racun panah atau tuba ikan. Kayunya berkualitas cukup bagus, digunakan sebagai
bahan bangunan dan peralatan rumah tangga. Daun dan batangnya sebagai obat
penurun panas, namun pemakaiannya dalam jumlah kecil. Bijinya sebagai obat
disentri. Kulit batangnya digunakan juga sebagai bahan pencelup pewarna.
2.
Artocarpus elasticus Reinw. ex Blume, termasuk suku Moraceae.
Tanaman ini mempunyai nama lokal mengko (Aceh); torop, ulalang, hatapul miak
(Batak); tarok (Minangkabau); benda, tereup (Sunda); bendo, bendo ketan, bendo
kebo (Jawa); kokap (Madura); taeng (Makassar). Daerah asalnya mulai dari Burma,
Thailand, Malaysia, Brunei, Indonesia dan Filipina. Jenis ini merupakan
sumber utama serat dari marga Artocarpus, bukan karena seratnya berkualitas
tinggi, namun karena jenis ini cukup bagus, cepat dan mampu beradaptasi dengan lingkungan
sekitarnya. Habitat tanaman ini secara alami
dijumpai di hutan yang selalu hijau atau hutan semi meranggas, hutan primer
atau sekunder sampai pada ketinggian 3.500 m dpl. Kegunaannya kayu memiliki kelas awet III dan IV,
umumnya digunakan sebagai bahan bangunan, peralatan rumah tangga. Serat kulit
kayu sebagai bahan tali temali, “tambanan” (dari kulit batang muda), “nyawur”
(kulit batang tua), tikar.Getah digunakan sebagai perangkap burung dan obat
disentri. Daun sebagai bahan obat penyakit TBC, alas lumbung. Buah dapat
dimakan. Kulit batang dimakan oleh wanita atau sabuk/ikat pinggang digunakan
sebagai pencegah untuk mempunyai anak.
3.
Artocarpus integer (Thunb.) Merr, merupakan anggota suku Moraceae
yang mempunyai nama lokal: pana, panah, panaik, nangka, nangkow (Aceh); nangka,
naka (Batak); naa (Nias); lamasa, malasa, menaso, benaso (Lampung); batuk,
baduk, naha, enaduk, maduk (Dayak); nangka (Sunda); nangko (Jawa); nangke
(Bali, Sasak); nangga, nanga (Bima); hoha (Sawu);nangga, nangka, mangka
(Sulawesi Utara); cidu (Makassar); tekele, kaolin, nongga, tafela, ina ale, ai
naa wakasaa (Maluku). Sebaran dari tanaman ini adalah Tersebar luas di Myanmar, Semenanjung
Thailand, Semenanjung Malaysia dan Indonesia. Jenis ini dibedakan antara yang
liar (var. sylvestris) dan yang budidaya (var. integer). Hidupan liarnya sangat
bervariasi, ada yang gundul dan berbulu macam-macam. Daunnya setelah layu
berwarna hijau sampai kekuning-kuningan. Sedangkan tumbuhan yang budidaya selalu
berbulu dan daunnya setelah layu berwarna kuning menyolok sampai jingga.
Habitat dari tumbuhan ini jumpai
hanya tumbuh di daerah tropik, umum dijumpai di hutan sekunder dan primer
dataran rendah sampai ketinggian 500 m dpl.; seringkali di lereng bukit yang
lembab. Jenis ini merupakan pohon yang mengisi kanopi kedua dalam hutan dan
termasuk yang berumur panjang. Kegunaannya selain sebagai bahan sandang adalah kualitas kayunya cukup bagus dengan
kelas awet II dan III, umumnya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, peralatan
rumah tanggga, mebel. Kulit kayu digunakan sebagai pewarna kuning (Selai,
agar-agar). Serat kulit kayu selain untuk bahan sandang, juga bahan tali telali
(tambang). Akar sebagai bahan obat demam.Getah untuk perangkap burung.Daun
sebagai pakan ternak. Buah dan biji dapat dimakan.
4.
Boehmeria nivea
(L.) Gaudich, merupakan anggota suku : Urticaceae, yang mempunyai nama lokal: Goni,
rami, kelui (Indonesia); romin (Sumatera); haramay (Sunda); kofo yaba (Maluku).
B. Nivea di daerah asalnya diduga dari China bagian
barat dan tengah; menyebar ke negara-negara Asia. Pada abad ke-18 dibawa oleh
orang Eropa dan dibudidayakan di negara-negara tropis, subtropis dan daerah
beriklim sedang. Di negara-negara Asia seperti Filipina, Indonesia, Malaysia,
Thailand, Vietnam, Kamboja dan Laos dibudidayakan secara besarbesaran pada awal
abad ke-19. Jenis ini memiliki variasi yang cukup tinggi, sehingga dikenal
beberapa sub jenis, varietas dan forma. Kultivar yang dibudidayakan di
Indonesia antara lain “Pujon 10”, “Bandung A’ dan “Lembang A” (ditanam di Jawa)
dan “Puncur batu” (dikembangkan di Sumatera). Habitat: Tumbuh pada
daerah-daerah ekuatorial, umumnya dengan dengan suhu 200 – 280 C, namun peka
terhadap lahan tergenang. Untuk menghasilkan serat yang optimal dan berkualitas
bagus diperlukan perairan yang baik, tanah liat bergaram, pH tanah 5,5 – 6,5.
Kegunaannya adalah sebagai serat
kulit kayunya merupakan bahan baku tekstil tertua, kertas, jala, tambang dan kerajinan anyaman. Daun sebagai pakan
ternak, pupuk hijau, obat asam lambung. Akarnya sebagai obat disentri,
diuretik, menghaluskan kulit, pembengkakkan urogenital dan prolapsed uterus.
5.
Broussonetia
papyrifera (L.) L’ Hér. ex Vent. Merupakan anggota suku Moraceae,
yang mempunyai nama lokal: Sepukau (Sumatera Barat); saeh (Sunda); galugu,
glugu (Jawa); dhulubang, dhalubang (Madura); gembala, rowa (Sumba); ambo,
lingowas, iwo (Sulawesi); malak (Maluku). Tanaman ini tersebar Kisaran
alaminya meliputi Jepang, China, Indo-China, Thailand, Burma dan India;
disebarluaskan ke kepulauan Ryukyu, Taiwan, Filipina, Indonesia (Sumatera,
Jawa, Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil dan Maluku), Papua Nugini dan Polinesia.
Jenis ini berkerabat dekat dengan B. kazinoki Sieb., terutama dari Jepang dan
Korea. Pertumbuhan alaminya dijumpai di hutan– hutan meranggas di daerah
beriklim sedang, namun juga tumbuh subur di dataranrendah dan pegunungan
tropis; merupakan tumbuhan pionir sehingga seringkali merupakan gulma
perkebunan. Serat kulit kayunya halus, sangat kuat dan agak berkilau. Kayu dan
kulit kayunya sebagai bahan pulp. Kulit batang mengandung senyawa flavonoid
broussochalcon yang berperan sebagai antioksidan, anti jamur dan anti bakteri.
Pucuk daunnya dapat dimakan (lalab), daunnya yang tua sebagai pakan ternak,
obat diare pada anak-anak dan peluruh keringat; sedangkan buahnya untuk
menguatkan lambung dan sebagai tonik. Penanaman jenis ini juga dapat sebagai
pembasmi pertumbuhan alang-alang (Imperata cylindrical (L.) Raeusch.)
6.
Ficus minahassae
(Teijsm. & de Vriesse) Miq.
Merupaka anggota suku Moraceae, yang mempunyai nama lokal: mahang kusei, tambing-tambing, waren
kusei, langusei (Sulawesi). Tanaman
ini tersebar di Kalimantan bagian utara, Sulawesi, Kepulauan Talaud dan
Filipina. Habitat: Hutan primer dataran rendah, terutama sepanjang aliran
sungai. Daunnya digunakan sebagai
bahan obat tradisional untuk penyakit rematik. Buah dapat dimakan.
7.
Ficus pungens
Reinw. ex Blume, merupakan anggota suku
Moraceae yang mempunyai nama
lokal: ngesoso, ngeheho, gososo (Maluku). Sebaran: Filipina, Maluku dan Papua
Nuigini. Tanaman ini dapat ditemukan
di hutan primer dan sekunder, tepi sungai kecil, pada ketinggian sampai
1.500 m dpl. Daunnya dapat dimasak seperti sayuran. Air dari batangnya yang
dipotong dapat diminum. Getahnya sangatnya beracun. Serat kulit batang
digunakan sebagai pengganti tikar anyaman atau matras.
8.
Ficus variegate Reinw. ex Blume, Merupakan anggota suku Moraceae,
yang mempunyai nama lokal: kondang (Sunda), gondang (Jawa, Bali), ghundang
(Madura), kanyilu, kencalu, kandelu (Sumba), aha, toubukau, matana, naha, latua
(Sulawesi), toro, coro (Maluku). Dijumpai mulai dari India dan Burma,
menyebar ke Indo-China, China, Kepulauan Ryukyu, Taiwan, Kepulauan Andaman,
Thailand, kawasan Malesia, Kepulauan Solomon bagian timur dan selatan sampai
bagian utara Australia. Habitat dari
tanaman ini berada di hutan primer dan sekunder pada ketinggian sampai dengan
1.200 m dpl. Seringkali dijumpai di kawasan pedesaan dan di kebun. Kualitas kayu tidak bagus sehingga
hanya digunakan sebagai kayu bakar. Kulit kayu digunakan sebagai pengganti
pinang. Lilin yang dihasilkan dari getah digunakan untuk membatik. Daun muda
dimakan sebagai lalab. Buah yang direbus sebagai obat disenteri. Akar
berkhasiat sebagai anti racun.
9.
Streblus elongatus
(Miq.) Corner. Merupajan anggota suku
: Moraceae, yang mempunyai nama lokal:
daendong, laindong, bunta (Sulawesi). Tersebar di
Sumatra, Peninsula Malaya, Kalimantan dan Sulawesi. Habitat nya di hutan
sekunder dataran rendah. Kayunya sangat keras, kuat, berat digunakan sebagai bahan
bangunan dan perkakas rumah tangga.
Setiap jenis pohon serat kulit kayu yang
dimanfaatkan sebagai bahan sandang memiliki ciri khasnya masing-masing, baik
dari segi umur tumbuhannya, cara pengolahannya maupun kualitas kain/sandang
yang dihasilkan. Kulit kayu Antiaris toxicaria Lesch. dan Broussonetia
papyrifera (L.) L'Hér. ex Vent. diambil dari tumbuhan muda, sedangkan
jenis-jenis lainnya diambil dari tumbuhan yang telah cukup dewasa.
Bagian kulit kayu yang digunakan adalah
serat bagian dalam setelah dipisahkan dari kulit arinya dengan cara dikikis
atau dikerok dengan menggunakan pisau atau potongan kayu/tempurung kelapa yang
ditajamkan. Semua serat kulit kayu jenis tumbuhan yang akan dijadikan
sebagai bahan sandang kecuali Boehmeria nivea (L.) Gaudich., diproses
dengan cara dipukul-pukul cukup keras dengan pemukul atau palu kayu.
Kulit
kayu Boehmeria nivea (L.) Gaudich. yang telah dibersihkan dari kulit
luarnya yang berlendir dijemur selama 3 hari. Setelah kering pita-pita serat
ditarik dari kulit batangnya, kemudian dipintal menjadi benang dan diolah lebih
lanjut menjadi bahan sandang. Sedangkan jenis lainnya setelah dibersihkan kulit
arinya, kemudian dilakukan pemukulan awal.Selanjutnya direndam dalam air selama
1-3 hari agar kotoran atau lendir/getah yang tersisa keluar. Proses selanjutnya
serat kulit kayu tersebut diperas, kemudian beberapa lembaran serat kulit kayu
disusun diatas papan atau landasan kayu dan dipukul -pukul dengan palu batu
atau kayu yang memiliki alur-alur yang berbeda-beda, semakin tinggi
tingkatannya akan semakin halus alurnya. (Rahayu & Sakamoto, 2009) melaporkan bahwa
masyarakat Kulawi di Sulawesi Tengah menyebut palu kayu beralur tsb. sebagai “batu
Ike”; yang terdiri atas beberapa tingkatan “ike pemimpe”, “ike tanga”, “ike
tanga koduo”, “ike pompokapu” dan “ike panbodo” atau “paroda”. Masyarakat
Lore menyebut batu ike sebagai “popo”; yang terdiri dari “popo pehelai”, “popo
kowang”, “popo kasua” dan “popo pawali”.
Waktu
yang diperlukan untuk pembuatan 1 lembar “kumpe” (bahan sandang serat kulit
kayu) berkisar 10 – 15 hari dan dilakukan secara terus menerus.Selama proses
pembuatan sandang kulit kayu ditemukan adanya mitos atau kepercayaan dikalangan
masyarakat setempat antara lain potongan atau lembaran serat kulit kayu yang
akan diproses menjadi bahan sandang tidak boleh terkena kotoran hewan atau
manusia, tangan pengrajin tidak boleh terkena gula merah, tomat, atau mencuci
tangan dengan menggunakan sabun.
Dari
hasil pengamatan dilokasi pembuatan sandang serat kulit kayu dan artefakta di
beberapa museum diketahui bahan sandang serat kulit kayu dari Boehmeria
nivea (L.) Gaudich. dan Broussonetia papyrifera (L.) L'Hér. ex Vent.
memiliki kualitas terbaik antara lain halus, lembut, tipis, mengkilap dan
berwarna putih; sedangkan sandang dari jenis lainnya agak kasar, kusam dan
berwarna coklat kemerahan (Rahayu & Lestari, 2013).
Kesimpulan dari makalah ini adalah:
1.
Etnobotani tanaman sandang merupakan pemanfaatan
tanaman atau tumbuhan untuk dijadikan sandang atau pakian yang berguna bagi
kemaslahatan manusia.
2.
Jenis tumbuhan yang digunakan untuk bahan sandang
diantaraya Artocarpus elasticus Reinw. Ex Blume, Artocarpus integer
(Thumb.) Merr., Boehmeria nivea (L.) Gaudich, Broussonetia papyrifera (L.) L’
Hér. ex Vent, Ficus
minahassae (Teijsm. & de Vriesse) Miq., Ficus pungens Reinw. ex Blume, Ficus variegate Reinw. ex Blume, Streblus
elongatus (Miq.) Corner., dan
lain sebagainya.
3.
Pembuatan bahan sandang dari serat kilit kayu
umumnya diambil dari kulit batang yang sudah tua, kecuali pada A. Toxicaria
dan B. Papyfera yang diambil dari bagian kulit yang muda. Pada umumnya
cara pembuatannnya dengan cara memukul lembaran kulit kayu bagian dalam agar
tipis, melebar, dan halus. Kemudian disambung dan ditumpuk kemudian dipukul
kembali.
Diharapkan pemakalah selanjutnya lebih
banyak mengambil beberapa sumber data yang ada di sekitar pemakalah sendiri,
agar dapat di aplikasikan dan dimanfaatkan untuk kehidupan kedepannya. Dan juga
diharapkan memberikan kajian tentang prospek masa depan dari sandang dengan
bahan serat kulit kayu ini.
Darmono. (2007). Kajian
etnobotani tumbuhan jalukap(Centella asiatica L.) di Suku Dayak Bukit Desa
Haratai 1 Laksado. Banjarmasin: Prodi pendidikan FKIP UNLAM.
Heyne, K. (1987). Tumbuhan
Berguna Indonesia. Jakarta: Badan Litbang departemen kehutanan.
hidup, K. m. (2000). strategi
nasional pengelolaan keanekaragaman hayati. jakarta.
Kartiwa, S. (1985). Berbagai
Jenis Bahan Pakaian Tradisional dan. Proyek Pengembangan Musium Nasional.
martin, g. j. (1995). Etnobotani:
sebuah manual pemeliharaan manusia dan tumbuhan. sabah: Natural Histori
Publications(Borneo).
Melalatoa, M. (1995). Ensiklopedi
Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen kebudayaan RI.
Power, s. (1874). Aboriginal
Botany. Calif. Acad. Sci. Proc. 5, 373–379.
Rahayu, M., &
Lestari, V. B. (2013, september 26). Serat Kulit Kayu Bahan sandang:
Keanekaragaman jenis dan prospeknya di Indinesia. Berita biologi, 12(3),
269-275.
Rahayu, M., &
Sakamoto, I. (2009, Mei 18). Kajian Etnobotani Broussonetia. (Y. Purwanto,
& E. Waluyo, Penyunt.) Prosiding Seminar Nasional Etnobotani IV,
448-504.
Tamim, r., &
arbain, D. (1995). Biodiversity dan survey Etnobotani. Makalah loka karya
isolasi senyawa berkasiat. medan: USU.
Waluyo. (1991).
Perkembangan Pemanfaatan Tumbuhan Obat. Prosiding pelestarian pemanfaatan
tumbuhan obat dari hutan tropis Indonesia, 120-127.